Kredibilitas Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Wicara Dalam Kasus Pidana


"Kredibilitas Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Wicara Dalam Kasus Pidana" oleh: Dian Kurniati Silalahi

Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Baik dalam hal pemenuhan hak sebagai warga negara, begitu pula terkait pelaksanaan dari tanggung jawab. Pernyataan sebelumnya didukung oleh Pasal 27 UUD 1945 yang mengamanatkan dan menyatakan bahwa “Setiap warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Konsep dari kesetaraan tersebut diperluas dan dapat dikaitkan semua orang, tidak  terkecuali individu penyandang disabilitas memperoleh hak dan kewajiban yang sama, seharusnya dan sepantasnya penyandang disabilitas harus diperlakukan sama dengan orang normal, dimana mendapatkan akses dan kesempatan yang sama sebagaimana orang normal. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 angka (1) menyatakan “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”, dan Tuna Wicara (kelainan dalam pengucapan bahasa, berbeda dari suara bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan) juga termasuk sebagai jenis penyandang disabilitas fisik.

Stigma buruk yang ada di masyarakat pada umumnya yakni keberadaan penyandang disabilitas saat ini belum diakui sepenuhnya. Hal ini dapat terlihat dari minimnya pemenuhan hak, kebutuhan, perlindungan, bahkan diskriminasi. Lebih lanjut, Berdasarkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hematnya menyatakan penyandang disabilitas tetap mendapatkan perlakuan khusus, seperti pada contohnya akan didampingi oleh ahli yang membantu dalam hal memperlancar komunikasi atau hal-hal yang berkaitan dengan kekurangan yang dipunya.

 

 

Salah satu nya saat penyandang disabilitas (Tuna Wicara) menjadi saksi dalam suatu kasus hukum, khusus nya kasus tindak pidana. Sebenarnya, seperti yang diketahui syarat untuk dapat menjadi saksi dalam persidangan adalah harus cakap hukum. Pengertian dari cakap hukum dapat diartikan bahwa seseorang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum dan dapat mempertanggungjawabkan nya. Namun, disini penyandang disabilitas fisik, seperti Tuna Wicara memiliki keterbatasan dalam hal berkomunikasi. Jadi, untuk menjadi saksi yang sah tetap memiliki kredibilitas sepanjang memenuhi beberapa syarat pada umumnya, seperti yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 178 ayat (1) bahwa jika terdakwa atau saksi tidak dapat mendengar dan/atau tidak dapat berbicara serta tidak dapat menulis, hakim  ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah yang akan membantu memperlancar komunikasi dalam hal penyampaian dari kesaksian.

Sebagai tambahan, alangkah lebih baik apabila saksi penyandang disabilitas fisik ( dalam hal ini, Tuna Wicara) yang berkaitan dengan sebuah kasus tindak pidana, telah menempuh pendidikan terlebih dahulu agar dianggap setidaknya memahami dalam mengerti mengenai konteks kasus sewaktu memberi pernyataan kesaksian di muka pengadilan. Memang dikarenakan beberapa keterbatasan kerap kali mengalami kendala. Terkadang banyak anggapan dan prasangka bahwa pernyataan seorang penyandang disabilitas tidak sama kedudukannya dengan kesaksian orang normal, tanpa kekurangan pada umumnya. Intinya, yang harus tetap diberi perhatian dan ditegakkan adalah kesamaan dan kesamarataan hak serta tidak terjadi diskriminasi antara satu sama lain, keadilan tetap di prioritaskan.

Oleh: Dian Kurniati Silalahi

  • Read: 1099 Visitor