Eksplanasi Status Korban yang Berubah Menjadi Tersangka Berlandaskan Dalih Pembelaan Diri (Analisis Kasus Terbunuhnya Begal oleh Korban)


“Eksplanasi Status Korban yang Berubah Menjadi Tersangka Berlandaskan Dalih Pembelaan Diri (Analisis Kasus Terbunuhnya Begal oleh Korban)” Oleh: Ni Made Indah Gayatri

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tercantum bahwa, korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun dalam praktik peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum Indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied).

Banyak terjadi peristiwa ketika orang yang menjadi korban berubah statusnya menjadi tersangka, salah satunya terjadi dalam kasus yang pernah menjadi topik pembicaraan publik pada April 2022 yaitu korban begal bernama Amaq Sinta berusia 34 tahun, yang kemudian ditetapkan oleh Satreskrim Polres Lombok Tengah sebagai tersangka. Korban begal tersebut ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka karena yang awalnya merupakan kasus pembegalan berujung dengan kasus pembunuhan dua pelaku begal di Lombok Tengah pada Minggu 10 April 2022 dini hari. "Korban begal dikenakan pasal 338 KUHP menghilangkan nyawa seseorang melanggar hukum dan pasal 351 KUHP ayat (3) melakukan penganiayaan mengakibatkan hilang nyawa seseorang," tutur Wakil Kepala Polres Lombok Tengah Kompol I Ketut Tamiana. Namun pada akhirnya Amaq Sinta terbebas dari perkara tersebut setelah Polda NTB melakukan gelar perkara khusus. Polisi menyatakan bahwa Amaq Sinta melakukan pembelaan terpaksa hingga akhirnya membuat dua begal tewas. Keputusan akhirnya Polda NTB menyatakan penyidikan kasus Amaq Sinta yang awalnya korban begal jadi tersangka pembunuhan dihentikan. Polisi menyatakan terkait perbuatan yang dilakukan Amaq Sinta merupakan perbuatan pembelaan terpaksa. Pembelaan dengan kasus yang hampir serupa pernah terjadi pada tahun 2018 dimana Mohamad Irfan Bahri ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan perlawanan balik terhadap beberapa pelaku yang menyabetkan senjata tajam kepadanya sehingga menghasilkan satu korban jiwa.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto berpendapat bahwa dalam kasus korban jadi tersangka, kepolisian lebih mengedepankan prosedur formal yang memang menjadi landasan penegakan hukum positif. Jika mengacu pada prosedur formal pada kasus serupa maka Pasal 49 KUHP tidak akan bisa dilewatkan begitu saja.

Pembelaan terpaksa dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) terdapat dalam Pasal 49 KUHP. Pasal dalam KUHP yang mengatur pembelaan diri terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) sedangkan pasal yang mengatur pembelaan diri luar biasa terdapat pada Pasal 49 ayat (2). Pasal 49 ayat (1) KUHP menjelaskan pembelaan diri merupakan tindak pidana, barang siapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain yang terjadi karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu. Sementara itu, pembelaan diri luar biasa dijelaskan pada Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi, pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” ada 3 syarat pembelaan darurat salah satunya adalah Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga. KUHP mengatur tentang perbuatan yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan diri atau barangnya dari serangan melawan hak. Jadi tindak pembelaan darurat dalam rangka mempertahankan diri, tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah atau dikatakan main hakim sendiri dan ada landasan hukum yang mengaturnya.

Oleh: Ni Made Indah Gayatri

  • Read: 1058 Visitor